Seimbang dalam Bekerja untuk Dunia dan Akhirat dalam Ajaran Islam
Kata-kata seperti ini tentu bukan sesuatu yang asing bagi
kita. Sedari dini kita sudah diajarkan atau lebih tepatnya didoktrin untuk
berjuang bahkan berlomba-lomba mencapai kesuksesan di dunia. Baru kemudian
diimbangi dengan mencari kesejahteraan di akhirat. Ini disebut-sebut di
masyarakat kita sebagai orang yang benar-benar sukses dengan bersikap adil untuk
hidup di dunia dan juga tak melupakan akhirat. Kita telah menerima penuh konsep
ini, padahal pada prinsipnya kita diajarkan untuk menjadikan akhirat sebagai
perkara sampingan. Tapi, apakah benar prinsip ini relevan untuk kehidupan kita
sebagai seorang Muslim ? Apakah prinsip ini benar-benar mengajari kita dalam
bersikap adil kepada dunia dan akhirat ? Dan Apakah prinsip ini di-“amini” dalam Islam ?
Bekerjalah Untuk Duniamu Seakan Kamu Akan Hidup
Selama-lamanya
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً ، واعمل لآخرتك كأنك تموت
غداً
“Bekerjalah
untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk
akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari”
Inilah ungkapan yang sering dijadikan dalil oleh kebanyakan
kita untuk menguatkan prinsip bersikap imbang terhadap dunia dan akhirat. Bahkan
ungkapan ini kadang pula difahami sebagai sebuah hadits dari Rosululloh ﷺ. Perlu
kita ketahui bahwa :
Pertama,
Ungkapan dalam bahasa
Arab ini bukanlah hadits dari Rosululloh ﷺ, sehingga sikap seperti itu bukanlah arahan dan bimbingan dari
beliau. Telah banyak para ‘ulama ahli hadits mengingatkan tentang kepalsuan
hadits ini, sekalipun semua sepakat ini adalah ungkapan yang sangat masyhur.
Kedua,
Makna yang diajarkan
dalam pepatah ini adalah kebenaran dan sesuai dengan apa yang diajarkan dalam
al-Qur’an dan Sunnah; kalau kita memahaminya secara tepat. Ungkapan di atas
mengajarkan kita untuk fokus mengutamakan akhirat karena kita akan mati esok
hari, bahkan sejatinya kita pun belum tahu apakah waktu kita sampai esok hari
ataukah tidak. Sedangkan untuk perkara dunia, itu adalah sampingan. Karena apa
yang tak bisa kita dapatkan secara sempurna hari ini, kita masih bisa
menyempurnakannya esok hari karena kita akan hidup selama-lamanya. Sehingga,
sebenarnya ungkapan ini justru mengajarkan untuk benar-benar mengerti prioritas
akhirat di atas masalah duniawiyah.
Ketiga,
Adalah sebuah
kekeliruan yang besar mendasarkan ungkapan ini sebagai dalil untuk menganggap
dunia dan akhirat itu setara, sama dan mengejar keduanya dengan sikap fair
50% : 50%. Apalagi kalau malah sampai difahami untuk menjadikan akhirat
sebagai tujuan ke-2 dan sampingan. Tentu kita semua sepakat, hanya orang-orang
yang tak mengerti hakikat kehidupan sajalah yang menjadikan hal yang bersifat
abadi (sukses sejahtera abadi atau gagal sengsara selamanya) yang waktu deadline-nya
pun lebih dekat dari hari esok sebagai tujuan ke-2 dan sekadar sampingan.
Timbangan
Prioritas Dunia dan Akhirat dalam Al-Qur’an
Apabila
kita memahami bahwa dunia dan akhirat adalah dua hal yang harus disikapi dengan
prinsip equality (seimbang), bisa dipastikan kita belum faham betul
bagaimana timbangan prioritas yang Alloh tetapkan antara dunia dan akhirat.
Alloh telah mengetahui bahwa makhluk yang bernama manusia, mayoritasnya akan
lebih mementingkan perkara dunia. Mereka lebih suka dengan materi keduniaan
dibandingkan dengan janji akhirat, yang menurut mereka lebih bersifat “ilusif”.
Dalam ayat-ayat suci-Nya yang sangat banyak Alloh menyebutkan tentang sifat
manusia ini, di antaranya Dia Berfirman :
كَلَّا بَلۡ تُحِبُّونَ ٱلۡعَاجِلَةَ
٢٠ وَتَذَرُونَ ٱلۡأٓخِرَةَ ٢١
“Sekali-kali
janganlah demikian. Sebenarnya kalian (hai manusia) mencintai kehidupan dunia
dan meninggalkan (kehidupan) akhirat” (QS. Al-Qiyamah
: 20-21)
بَلۡ تُؤۡثِرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ
ٱلدُّنۡيَا ١٦ وَٱلۡأٓخِرَةُ
خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ ١٧
“
Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan duniawi sedangkan kehidupan akhirat
adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la : 16-17)
Sifat cinta dan senang dengan kesenangan material
yang nampak di dunia dan sikap memprioritaskan kehidupan dunia ini dibandingkan
dengan akhirat disanggah telak oleh Alloh. Dia menjelaskan dengan gambling kepada
umat manusia, dunia dan akhirat tidak bisa diperlakukan dengan fifty-fifty, karena
memang dunia tidak sebanding dengan akhirat. Akhirat jauh lebih baik daripada
dunia dan kebahagiaan ataupun kesengsaraan di akhirat adalah kekal adanya. Maka
dari itu kita hendaknya lebih prioritas kepada akhirat dan senantiasa
bersiap-siaga menyambut kedatangannya yang tak bisa kita duga-duga.
Lebih jelasnya lagi, Rosululloh menasihatkan bahwa
orang yang cerdas adalah mereka yang mampu me-muhasabah dirinya sehingga
dia tidak tunduk pada keinginan nafsu duniawiyahnya, namun justru ia bersegera
beramal demi mempersiapkan hari akhirat yang akan ia jumpai setelah
kematiannya. Dan orang yang dungu adalah mereka yang mengikuti keinginan hawa
nafsunya sehingga ia sibuk dengan urusan dunia dan melalaikan akhirat sedangkan
untuk perkara akhiratnya, ia justru berpanjang angan kepada Alloh sesuatu yang
tak akan dipenuhi oleh Alloh karena ketidak sungguhannya dalam bekerja untuk
akhirat. Wallohu a’lam.
Tidak ada komentar: